Header Ads

Warga Suriah Minta Pemerintah Tangkap dan Adili Milisi Al Hajri Melalui Petisi


Kekerasan sektarian di wilayah Druze Suriah selatan dinilai bukan sesuatu yang harus dibiarkan terjadi. Pemerintah diminta mengadili pihak yang terlibat.

Petisi internasional kini beredar, menuntut dunia mengklasifikasikan milisi yang dipimpin Hikmat Al-Hajiri sebagai organisasi teroris atas dugaan kejahatan perang, pembersihan etnis, dan pembantaian terhadap warga suku Badui di Provinsi Suwayda. Situasi ini terjadi hanya beberapa hari setelah militer Suriah menarik pasukannya dari kawasan tersebut atas konsensus internasional.

Sejak penarikan pasukan pada 17 Juli 2025, milisi yang setia kepada Hikmat Al-Hajiri dilaporkan mengambil alih penuh kontrol atas sejumlah kota dan desa. Laporan dari media independen menunjukkan tindakan-tindakan brutal seperti pemenggalan kepala anak-anak, penculikan perempuan dan lansia, mutilasi tubuh, serta pengusiran paksa ribuan warga dari komunitas Badui.

Petisi tersebut menyatakan bahwa semua tindakan ini dilakukan dalam rangka perubahan demografi dengan kekerasan, dan mengingatkan dunia pada tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern. Pihak-pihak yang menandatangani petisi mendesak agar Dewan Keamanan PBB menginisiasi penyelidikan internasional independen dan meminta pertanggungjawaban semua pelaku dan penyokong milisi tersebut.

Milisi Hajiri disebut telah beroperasi di luar struktur hukum sejak tujuh bulan terakhir, melakukan penculikan, promosi kejahatan, serta produksi narkoba jenis captagon untuk membiayai aktivitasnya. Dalam beberapa serangan, mereka juga dituduh menyerang kelompok-kelompok keamanan lokal yang menolak tunduk pada mereka.

Ironisnya, Hikmat Al-Hajiri adalah tokoh keagamaan tertinggi di komunitas Druze, namun kini berada dalam sorotan dunia sebagai pemimpin milisi yang dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan. Meskipun beberapa pengikutnya menyatakan bahwa ia bertindak demi ketertiban lokal, tindakan-tindakan di lapangan membantah klaim itu.

Dalam konteks internasional, Amerika Serikat kini sedang membahas Rancangan Undang-Undang yang akan melarang Presiden menarik pasukan AS dari Suriah tanpa persetujuan Kongres. Jika disahkan, kebijakan ini secara de facto akan membuat kehadiran militer AS di Suriah menjadi permanen.

Langkah ini memicu banyak pertanyaan di dunia internasional. Apakah AS berniat menjadikan kehadirannya abadi di Suriah? Apakah ini upaya untuk menyeimbangkan pengaruh Rusia, Iran dan Turkiy di kawasan? Atau justru langkah perlindungan terhadap kelompok mitra seperti Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang kini juga disebut menjalin komunikasi dengan beberapa unsur milisi Druze?

Di saat yang sama, kekacauan di Suwayda membuka ruang baru bagi kekuatan lokal dan internasional untuk bermain. Wilayah yang sebelumnya relatif tenang itu kini menjadi arena konflik antar milisi, perebutan pengaruh, dan ajang pengusiran paksa yang mengerikan.

Laporan terbaru dari lapangan menunjukkan bahwa warga sipil semakin terjepit di tengah ketidakpastian. Sementara pemerintah Suriah menarik diri, milisi mengambil alih dan menjalankan “hukum” versi mereka sendiri, tanpa akuntabilitas dan tanpa rasa kemanusiaan.

Mereka yang berhasil melarikan diri dari wilayah konflik kini mengungsi ke daerah tetangga. Beberapa kelompok bantuan internasional memperingatkan bahwa jika situasi ini terus dibiarkan, akan terjadi krisis pengungsi baru yang menambah beban kemanusiaan global.

AS, yang masih memiliki pasukan di wilayah timur dan utara Suriah, disebut-sebut tidak sepenuhnya menutup mata terhadap peristiwa ini. Namun, belum ada pernyataan resmi dari Gedung Putih mengenai keterlibatan atau sikap terhadap milisi Hajiri.

Petisi global yang menyerukan klasifikasi milisi Hajiri sebagai organisasi teroris kini sudah ditandatangani oleh berbagai kelompok HAM internasional. Mereka menyatakan bahwa pembiaran terhadap kekerasan ini adalah noda di hati nurani komunitas internasional.

Tuntutan utama dalam petisi itu meliputi klasifikasi milisi Hajiri sebagai organisasi teroris, investigasi internasional di bawah PBB, pertanggungjawaban para pemimpin milisi, dan perlindungan sipil di Suwayda dan sekitarnya dari kekejaman bersenjata.

Sebagian pihak menilai bahwa lemahnya respon pemerintah Suriah terhadap kekejaman ini menunjukkan bahwa adanya pembiaran Damaskus terhadap manuver Israel untuk menggunakan milisi seperti Hajiri untuk memecah kedaulatan Suriah yang belum sepenuhnya bisa didikte, namun dengan tangan yang tidak terlihat.

Di sisi lain, beberapa kelompok militan lokal seperti yang dipimpin Laith Al-Balous—putra dari tokoh Druze anti-rezim Assad di masa lalu yang terkenal—berusaha melindungi komunitasnya dari milisi Hajiri. Namun peralatan dan kekuatan mereka kalah jauh dari milisi yang diduga mendapat logistik dari jaringan lama rezim.

Keterlibatan SDF juga menciptakan dinamika baru. Kelompok Kurdi tersebut disebut tengah mencari sekutu baru di wilayah selatan untuk memperluas pengaruh politik dan militer mereka sebagai kekuatan yang menentang dominasi rezim maupun Islamis ekstrem.

Dengan AS masih menjadi pelindung utama SDF, banyak analis menyebut bahwa keterlibatan mereka dalam konflik Druze bisa membuka babak baru yang rumit, di mana konflik sektarian, etnis, dan geopolitik saling bertabrakan dalam satu wilayah.

Kekerasan di Suriah selatan juga menyoroti betapa rapuhnya sistem perlindungan sipil dalam perang yang telah berlangsung lebih dari satu dekade ini. Meski gencatan senjata dan rekonsiliasi lokal pernah dicoba, akar konflik tak pernah benar-benar diselesaikan.

Jika dunia terus diam, pembersihan etnis yang kini sedang berlangsung di Suwayda bisa menjadi cermin kegagalan sistem internasional dalam mencegah kekejaman massal yang pernah mereka janjikan untuk tidak membiarkannya terjadi lagi. Dunia ditantang untuk tidak sekadar prihatin, tapi bertindak nyata.

Siapa di Balik Druze?

Tokoh utama dalam konflik terakhir adalah Naji Al-Shaarani, seorang mantan loyalis rezim Bashar al-Assad yang kini memimpin milisi lokal. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan eks lembaga Intelijen Militer Suriah dan sebelumnya terkait erat dengan Raji Falhout, pemimpin milisi Druze pro-rezim yang kini telah melarikan diri dari Suwayda.

Naji disebut kini berpihak kepada otoritas keagamaan tertinggi Druze, yaitu Sheikh Hikmat al-Hijri. Namun langkah-langkah militernya belakangan justru menimbulkan kecurigaan banyak pihak, terutama setelah ia melancarkan serangan terhadap kelompok yang dipimpin oleh Laith al-Balous.

Laith merupakan putra mendiang Sheikh Wahid al-Balous, seorang tokoh Druze yang dikenal vokal menentang dominasi rezim Assad di Suwayda. Setelah kematian ayahnya dalam ledakan misterius tahun 2015, Laith melanjutkan perjuangan dengan membentuk satuan keamanan lokal yang berusaha menjaga netralitas dan independensi komunitas Druze.

Serangan terhadap kelompok Laith di Al-Dour dinilai sebagai langkah provokatif. Banyak pihak menilai hal ini sebagai upaya untuk menggoyahkan struktur kekuatan lokal yang telah menolak kehadiran milisi pro-Assad dalam beberapa tahun terakhir.

Sejumlah warga Al-Dour melaporkan bahwa serangan berlangsung cepat dan terkoordinasi. Kendaraan lapis baja dan senjata berat dikerahkan dalam serangan yang mengakibatkan beberapa rumah hancur dan warga sipil terluka.

Situasi ini menunjukkan bahwa konflik di wilayah Druze kini tidak lagi hanya antara Arab Badui dan Druze, melainkan telah menjadi konflik internal antar faksi Druze sendiri. Bahkan pemuka agama seperti Sheikh Hikmat al-Hijri pun tak luput dari keterlibatan.

Pihak yang mendukung Sheikh Hikmat menolak tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bahwa niat Sheikh adalah untuk menjaga perdamaian dan netralitas komunitas Druze, bukan untuk terlibat dalam konflik bersenjata.

Namun fakta di lapangan berkata lain. Keterlibatan Naji Al-Shaarani yang mengaku tunduk pada Hikmat telah mencoreng citra netralitas sang pemuka agama. Banyak warga merasa dikhianati, terutama setelah beberapa tokoh lokal yang pro-Laith ditangkap secara sewenang-wenang.

Ketegangan ini terjadi di tengah melemahnya pengaruh Damaskus di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa di kawasan Suwayda. Setelah pengusiran Raji Falhout oleh pemberontak lokal, muncul harapan akan kebebasan baru. Namun konflik internal antar milisi Druze justru membalikkan keadaan menjadi semakin tidak stabil.

Peristiwa ini juga memperlihatkan bagaimana konflik Suriah telah menciptakan zona abu-abu baru, di mana aktor-aktor lokal memiliki kekuatan militer yang nyaris setara dengan tentara pemerintah dan memainkan peran layaknya negara dalam negara.

Wilayah Druze yang dulunya dikenal netral kini menjadi salah satu medan tempur antar faksi lokal yang sama-sama mengklaim membela kepentingan rakyat. Di tengah kekacauan ini, warga sipil menjadi korban utama.

Dalam beberapa pekan terakhir, pengungsian internal dari desa ke desa meningkat. Banyak keluarga memilih meninggalkan wilayah yang mereka anggap tak lagi aman dari serangan mendadak atau balas dendam milisi.

Baca selanjutnya

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.