Warga Latamin Suriah Pulang dari Pengungsian, Layanan Dasar Belum Tersedia
Video terbaru yang diunggah oleh Syria TV pada 21 September 2025 menggambarkan realitas pahit yang harus dihadapi warga Latamin. Kota kecil di pedesaan Hama ini menjadi salah satu daerah yang paling parah terkena dampak pengeboman pasukan rezim selama perang. Rekaman berdurasi lebih dari dua menit itu menyorot bagaimana kehidupan kembali hadir di antara puing-puing kehancuran.
Seorang pria bernama Mustafa menjadi wajah utama dari kisah ini. Setelah bertahun-tahun hidup di kamp pengungsian, ia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Di antara reruntuhan rumahnya yang hancur, Mustafa mendirikan tenda sederhana sebagai tempat tinggal. Usahanya merepresentasikan tekad banyak warga Latamin untuk bangkit meski sarana hidup nyaris tidak tersedia.
Kehidupan di Latamin ternyata jauh lebih sulit daripada di kamp pengungsian. Dalam video, digambarkan bahwa layanan dasar seperti air dan listrik nyaris tidak berfungsi. Padahal di kamp, meskipun penuh keterbatasan, warga masih bisa mengakses kebutuhan pokok tersebut dengan lebih baik. Namun bagi Mustafa dan ribuan lainnya, tanah air tetap lebih berharga.
Tantangan terbesar yang dihadapi keluarga yang kembali adalah ketiadaan layanan dasar. Pendidikan, kesehatan, hingga sekadar pemindahan puing menjadi masalah besar. Anak-anak sulit bersekolah karena hanya ada satu sekolah yang beroperasi. Klinik medis hampir tidak ada, membuat warga rawan terhadap penyakit dan luka akibat lingkungan yang rusak.
Infrastruktur kota berada dalam kondisi yang sangat buruk. Jaringan listrik terbatas, sementara sistem air sama sekali belum siap digunakan. Perbaikan besar dibutuhkan, tetapi keterbatasan dana dan koordinasi membuat semua itu terhambat. Latamin masih tampak seperti kota mati yang berusaha bernafas kembali.
Puing-puing sisa pengeboman masih berserakan di jalan-jalan dan rumah-rumah. Biaya untuk memindahkannya terlalu tinggi bagi warga yang baru pulang dengan tangan kosong. Setiap hari mereka harus melewati jalan sempit di antara reruntuhan, sebuah pemandangan yang membuat normalisasi kehidupan terasa jauh dari kenyataan.
Meski begitu, semangat pulang ke kampung halaman tetap kuat. Hingga kini, lebih dari 2.500 keluarga tercatat telah kembali ke Latamin dari berbagai kamp pengungsian. Mereka datang dengan harapan bisa membangun kembali kehidupan meskipun harus menghadapi kondisi tanpa dukungan layanan publik yang memadai.
Pemandangan yang ditangkap kamera menegaskan kerusakan yang begitu meluas. Rumah-rumah roboh, tembok-tembok berlubang, dan jalanan rusak masih mendominasi kota. Upaya sipil dan intervensi pemerintah belum cukup untuk mengubah wajah Latamin yang porak-poranda.
Mustafa, dalam penggalan wawancara, mengatakan bahwa kembali ke Latamin adalah soal identitas. “Di sinilah kami lahir, di sinilah kami akan tinggal,” ungkapnya dengan nada tegas. Namun di balik keyakinannya, terlihat jelas beban berat yang harus ditanggung untuk bertahan hidup di lingkungan yang hampir tidak layak huni.
Ketiadaan layanan dasar juga memunculkan kekhawatiran baru bagi masa depan anak-anak. Pendidikan yang terganggu bisa melahirkan generasi yang kehilangan kesempatan. Orang tua di Latamin menaruh harapan agar dunia internasional menoleh dan membantu pemulihan sekolah serta fasilitas kesehatan di kota mereka.
Sementara itu, air bersih menjadi masalah paling mendesak. Banyak keluarga terpaksa mengandalkan sumber yang tidak higienis. Risiko penyakit menular meningkat, tetapi pilihan mereka terbatas. Situasi ini menggambarkan dilema nyata: kembali ke rumah, namun hidup tanpa jaminan dasar.
Sebagian warga yang diwawancara dalam video mengakui bahwa hidup di kamp lebih nyaman dalam hal layanan. Namun mereka tetap memilih pulang. Rasa keterikatan dengan tanah kelahiran mengalahkan segala pertimbangan praktis, meski kenyataannya mereka harus berjuang dari nol di kota yang hancur.
Aktivis sipil di Latamin mengingatkan bahwa pemulihan kota bukan hanya urusan fisik. Kehidupan sosial yang sempat tercerabut harus dipulihkan kembali. Masjid, sekolah, dan pasar bukan sekadar bangunan, tetapi simbol kembalinya kehidupan normal. Tanpa itu, Latamin hanya akan menjadi kumpulan tenda di atas reruntuhan.
Video juga memperlihatkan bagaimana keluarga bergotong royong membangun kembali rumah mereka dengan cara sederhana. Batu demi batu disusun, kayu dipasang, meski tanpa keahlian arsitektur maupun sumber daya yang memadai. Bagi mereka, yang terpenting adalah memiliki atap untuk berlindung.
Ketiadaan dukungan nyata dari otoritas setempat menjadi sorotan. Warga menilai pemerintah belum menunjukkan komitmen kuat untuk membantu. Laporan-laporan tentang minimnya intervensi resmi menambah rasa frustrasi, meski warga enggan menyerah begitu saja.
Latamin kini menjadi simbol harapan dan keputusasaan yang berjalan beriringan. Di satu sisi, ada tekad besar warga untuk kembali. Di sisi lain, kenyataan pahit menunjukkan betapa sulitnya membangun kembali kota yang telah hancur lebih dari 90 persen.
Sejarawan lokal menilai kehancuran Latamin bukan hanya kerusakan fisik, melainkan juga keretakan dalam struktur sosial. Banyak keluarga tercerai-berai selama masa perang, dan kepulangan mereka belum tentu bisa mengembalikan tatanan lama. Meski demikian, pulang tetap menjadi pilihan utama.
Kondisi Latamin kini menjadi perhatian media karena mencerminkan tantangan rekonstruksi pascaperang di Suriah secara keseluruhan. Banyak kota lain mengalami nasib serupa, tetapi kisah warga Latamin menggambarkan realita paling telanjang: pulang ke rumah, namun hidup tanpa layanan dasar.
Bagi warga, masa depan masih samar. Mereka menunggu uluran tangan pemerintah maupun lembaga internasional. Tanpa dukungan nyata, usaha individu seperti Mustafa hanya akan menjadi perjuangan panjang di tengah reruntuhan. Namun semangat untuk tetap bertahan, setidaknya, menunjukkan bahwa Latamin belum menyerah.
Video yang beredar ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar dokumentasi. Ia adalah pengingat bahwa pulang tidak selalu berarti kembali ke kenyamanan. Pulang ke Latamin adalah pulang ke luka, ke reruntuhan, tetapi juga ke harapan yang tak pernah padam.
Post a Comment